Politik Identitas dan Ancaman Keamanan Dalam Negara Pancasila

Gambar Gravatar
Staf Ahli Ideologi dan Konstitusi Kemenkopolhukam Irjen Andry Wibowo. (dok. Istimewa)
Ditulis pada Juni 2018 oleh
Dr Andry Wibowo Sik, MH, Msi
Staf Ahli Ideologi dan Konstitusi Kemenkopolhukam Irjen Andry Wibowo

KABAR DPR – Negara Kesatuan Republik Indonesia sedari awalnya dibentuk dengan satu komitmen kesatuan yang menyatukan segala perbedaan alamiah bangsa Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Rote sampai Pulau Miangas di NTT (Nusa Tenggara Timur).

Dialektika tentang komitmen dasar berbangsa yang satu telah dilakukan secara elegan melalui pendekatan rasionalitas dan emosionalitas, bahkan spiritualitas (kajian dan perenungan agama melalui ritualitas para ulama dan agamawan) bersama-sama para pemikir dan pejuang kemerdekaan.

Bacaan Lainnya

Keanekaragaman identitas suku bangsa, etnis, agama, hingga adat istiadat, adalah karunia Pencipta, namun bisa menjadi potensi persoalan jika perbedaan di dalamnya tidak berhasil dikanalisasi dalam satu prinsip dasar kebangsaan yang mampu menjadi pijakan hidup bersama dalam suatu negara bangsa yaitu NKRI (Indonesia untuk semua).

Pancasila sebagai filosofi pemikiran  digali dari nilai nilai kebangsaan yang hidup, tumbuh dan berkembang pada akar kebudayaan suku suku bangsa yang mendiami Nusantara dan telah disepakati menjadi pondasi dasar berdirinya NKRI.

Pancasila merupakan dialektika dari sistem dan konsep kebangsaan yang ada dalam sejarah dunia (demokrasi ala barat, negara agama, monarki, juga sosialisme).

Sebagai dasar negara, Pancasila lahir dari buah pikir bersama anak bangsa yang diwakili oleh para politisi, intelektual, kaum agamawan dari berbagai macam latar belakang agamanya. Pancasila dibangun bersama, dijaga bersama dan diperuntukkan untuk seluruh tumpah darah Indonesia.

Pancasila menjadi perekat kesatuan nasional dalam berfikir (to think), timbang rasa sesama anak bangsa (to understanding) dan berkarya sesama anak bangsa (to do), serta merupakan kesepakatan agung (great national agreement ) yang menjadi pijakan dan arah serta tujuan dari NKRI.

Politik identitas dilebur menjadi politik kebangsaan yang tidak lagi mengedepankan egoisme sektoral, egoisme kelompok, egoisme partikularistik karena politik kebangsaan yang Pancasilais adalah Politik holopis kuntul baris “Politik Satu Untuk Semua, Semua Untuk Satu.”

Politik Kebangsaan Pancasila disepakati untuk memastikan bahwa Indonesia adalah milik bersama, menghapus prinsip dominasi atas apapun, Kesetaraan dalam kemanusiaan, keamanan dan kesejahteraan umum bagi semua orang, kedamaian atas prinsip tepo seliro yang dipayungi oleh kesadaran diri bahwa Tuhan di atas segala-galanya .

Ancaman Politik Identitas

Politik Kebangsaan Pancasila yang bersifat multikultur secara konseptual memiliki makna sebagai anti thesis dari politik identitas yang bersifat partikularistik.

Politik devide et empera (pecah belah) yang pernah digunakan oleh kaum kolonial Belanda pada sejarah perjuangan kemerdekaan tidak lain adalah menggunakan pola pola politik identitas sebagai cara efektif melemahkan kekuatan nasional untuk melawan kaum kolonial saat itu.

Demikian pula di dalam sejarah konflik-konflik di dunia, konflik atas politik identitas terjadi di berbagai bangsa. Jejak jejak konflik atas dasar politik identitas dapat kita pelajari di Skotlandia antara Katolik melawan Protestan sebagai bagian dari konflik di wilayah Great Britania.

Perang saudara di Amerika Serikat ketika terjadi pada era civil war, konflik pribumi dan non-pribumi di Semenanjung Malaya, pecahnya Yugoslavia, Suriah, Afghanistan, maupun politik anti Semit serta merebaknya terorisme, radikalisme di berbagai belahan dunia.

Politik identitas dilebur menjadi politik kebangsaan yang tidak lagi mengedepankan egoisme sektoral, egoisme kelompok, egoisme partikularistik.

Potret sejarah konflik atas dasar identitas tersebut menjadi lesson learning bagi bangsa Indonesia bahwa kesatuan nasional dapat terpecah belah ketika politik identitas tidak dapat di cegah ataupun ditangani secara efektif.

Periode reformasi telah berjalan hampir dua dekade, yang telah membawa perubahan baik secara prosedur maupun substansi pada kualitas berdemokrasi.

Namun, pertarungan politik pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu telah meninggalkan beberapa problem mendasar tentang merebaknya politik identitas dalam sistem demokrasi yang kita anut saat ini.

Pada tahun 2019, Indonesia kembali akan menghadapi Pemilu yang untuk pertama kalinya dalam sejarah akan memilih wakil rakyat di DPR RI, DPRD, DPD dan Presiden secara bersamaan.

Isu-isu partikularistik tentang pribumi dan non pribumi, Islam dan non Islam, China vs anti China, syariat Islam vs Pancasila merebak dan menjadi lumrah dibahas, digagas, dihembuskan dalam konstestasi kekuasaan di daerah maupun nasional dengan dalih demokrasi.

Politik kebangsaan Pancasila (Demokrasi Nasional Indonesia ) yang menjadi kesepakatan bangsa ditinggalkan demi meraup sentimen pemilih.

Padahal, banyak sekali isu kesejahteraan sosial yang belum tuntas, isu penyakit sosial yang ada di masyarakat, isu patologi birokrasi yang masih dirasakan masyarakat yang semestinya lebih patut untuk diperdebatkan sebagai bentuk kritik atas realitas politik kekinian.

Anarki Sosial

Sistem demokrasi liberal (era reformasi) melalui multipartai dan pemilihan langsung melahirkan hak kebebasan politik di satu sisi, tetapi juga berpotensi melahirkan anarki sosial bahkan anarki bangsa di sisi lainnya.

Individu dan kelompok dengan berbagai latar belakang asik memainkan isu identitas sebagai komoditas politik kekuasaan dan mengabaikan politik kebangsaan Pancasila.

Pembenaran atas logika jalan berfikir identitas digunakan tanpa mengindahkan rasa tepo seliro (to understanding), yang pernah dilakukan para pendahulu bangsa saat berjuang dan bekerja, berdialektika menemukan Pancasila .

Politik identitas yang dipakai oleh individu dan kelompok bahkan organisasi seolah- olah untuk kebaikan masa depan Indonesia dengan tawaran sistem politik alternatif dan model kepemimpinan alternatif.

Tawaran alternatif tersebut mencontoh model sistem politik dan kepemimpinan bangsa lain yang jelas memiliki akar sejarah yang berbeda dengan proses pendirian bangsa Indonesia.

Negara Indonesia dilahirkan tidak saja melalui proses rasional (berfikir), fisik (berkerja dan berperang ) tetapi juga melalui proses tepo seliro (merasakan dengan batin), bahwa kita adalah satu bangsa dengan beragam etnis, suku dan agama.

Politik identitas secara luas tanpa batas merupakan “abuse of Indonesia democracy” dan rawan melahirkan berbagai problem keamanan bahkan dapat mengancam keutuhan nasional Indonesia.

Politik identitas menghidupkan kembali in group dan out group yang pada akhirnya akan melahirkan sekat sekat sosial atas dasar SARA yang sejatinya telah dihapuskan sejak Pancasila disepakati sebagai pijakan berbangsa dan bernegara oleh para pendahulu dan pendiri NKRI.

Terorisme, radikalisme, konflik dan perang antar kelompok di berbagai negara timur tengah, Eropa timur dan Eropa Barat, Amerika  Asia dan Indonesia dalam sejarahnya lahir dari egoisme identitas yang dipolitisasi.

Terorisme dan gerakan fundamentalisme justru akan hanya menimbulkan penderitaan dan bencana kemanusiaan (human catasthropy) serta menghilangkan jejak sejarah sebuah bangsa maupun generasi bangsanya melalui aksi-aksi vandalisme-nya.

Alhasil, negara-negara yang kini dikuasai oleh kekuatan fundamentalis masuk dalam katagori sebagai negara gagal (failure state/nation) karena miskin secara ekonomi dan penuh gejolak.

Masa Keunggulan

Indonesia harus terus maju dan tumbuh sebagai suatu bangsa yang beradab dalam era globalisasi dan teknologi informasi.

Evaluasi terhadap sistem demokrasi liberal (era reformasi) memerlukan koreksi pada sisi norma dan praktek. Sistem demokrasi Indonesia harus berdasarkan Pancasila, dimana ruang politik identitas dibatasi dalam ideologi kesatuan nasional, sehingga stabilitas negara dapat dipastikan berjalan sesuai dengan spirit Pancasila.

Pemilu 2019 diharapkan menjadi ujung dari era reformasi (menuntaskan agenda reformasi), sehingga pada 2024 Indonesia akan masuk pada babak baru sejarahnya. masa keunggulan (competitivenes era ) sebagai kelanjutan dari era reformasi demi melanjutkan cita-cita para pendiri bangsa sesuai dengan semangat konstitusi negara .

Apa reaksi anda soal berita ini?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
Iklan-Admin

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *