JAKARTA– Pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024 menjadi akhir dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Meskipun tak lagi menjadi orang nomor satu, nama besar Jokowi masih menjadi “jualan” yang menguntungkan bagi sejumlah pihak.
Tak terkecuali bagi Podcast Bocor Alus Politik Tempo. Dalam episode terbarunya pada Sabtu (9/11/2024), mereka membahas “Tangan Jokowi dan Polisi Melawan Kandidat PDIP di Pilkada”.
Menanggapi hal itu, Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menilai, kredibilitas Tempo sebagai pers patut dipertanyakan.
Bukan hanya tidak proporsional, tapi jika diperhatikan mulai dari sebelum pilpres hingga saat ini jelang pilkada, narasi yang dikemukakan dalam Bocor Alus Politik Tempo memiliki kesesuaian dengan apa yang sering dinarasikan PDIP. Yaitu cawe-cawe Jokowi dan keterlibatan aparat khususnya Polri.
“Alih-alih berpihak kepada rakyat kalau tidak mau disebut independen, Podcast Bocor Alus Politik Tempo justru terkesan lebih cenderung mengakomodir kepentingan politik PDIP,” kata R Haidar Alwi, Sabtu (9/11/2024).
Padahal, Jokowi bukan lagi presiden dan bukan pula ketua umum partai. Akan tetapi masih saja diserang seolah masih punya kekuasaan.
“Saat ini hak politik Jokowi tidak lagi dibatasi oleh undang undang. Berbeda dengan saat masih menjabat sebagai presiden. Karena itu, Jokowi bebas untuk mendukung atau menjadi juru kampanye pihak manapun dalam pilkada,” ungkap R Haidar Alwi.
Sikap Bocor Alus Politik Tempo yang lebih suka menyerang Jokowi ketimbang Presiden Prabowo Subianto yang sedang berkuasa semakin mengindikasikan adanya kesesuaian dengan sikap PDIP.
“Sudah bukan rahasia lagi kalau hubungan PDIP dengan Prabowo jauh lebih baik daripada hubungan PDIP dengan Jokowi. Walau tidak bergabung dalam pemerintahan secara kepartaian, beberapa orang lingkaran PDIP masuk dalam jajaran kabinet Prabowo. Makanya di sini menjadi semakin jelas materi Podcast Bocor Alus Politik Tempo senada dengan sikap PDIP,” jelas R Haidar Alwi.
Sedangkan terkait isu pengerahan aparat kepolisian untuk melawan PDIP di Pilkada juga dipandang tidak beralasan. Menurut R Haidar Alwi, situasi pilpres berbeda dengan pilkada. Isu tersebut hanya relevan digoreng saat pilpres karena sebelumnya Polri berada di bawah presiden. Sementara saat pilkada menjadi tidak relevan lagi karena Polri tidak berada di bawah kepala daerah
“Lagi pula sekarang Polri posisinya di bawah Menko Polkam. Menko Polkam dijabat Budi Gunawan. Dia orang dekat Megawati dan PDIP. Jadi isu pengerahan aparat kepolisian untuk pilkada jelas semakin tidak relevan lagi. Apalagi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo secara terbuka telah mewanti-wanti jajarannya untuk menjaga netralitas di Pilkada nanti,” pungkas R Haidar Alwi.