Permahi Sebut The Killer Of Rezim Jokowi Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat

Gambar Gravatar

KABAR DPR – Perhimpunan Mahasiwa Hukum Indonesia (Permahi) menilai Jokowi diujung pemerintahannya semakin hari semakin mengamputasi hak – hak Masyarakat hukum adat, seperti tahun-tahun sebelumnya, perampasan wilayah masih terus terjadi sejak tahun 2021 hingga sampai saat ini. Bukan hanya gagal menghormati dan melindungi Masyarakat Adat dan hak-hak tradisional Masyarakat Adat termasuk wilayah adat, proyek-proyek pembangunan swasta maupun pemerintah yang merampas wilayah-wilayah adat tampaknya tidak peduli terhadap hak – hak Masyarakat hukum adat.

Ketua Umum Permahi Fahmi Namakule mengungkapkan keberadaan masyarakat hukum adat secara konstitusional telah diakui dalam berbagai macama ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, mulai dari UUD 1945 pasal 18B ayat (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang, Undang – undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria Pasal 3 : Dengan mengingat ketentuan ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hakhak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Kemudian Undang-Undang Nomor 31 Tahun2004 Tentang Perikanan Pasal 6 ayat (2) : Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokalserta memperhatikan peran serta Masyarakat, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 TentangMinyak dan Gas Bumi Pasal 33 ayat (3) kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak bisa dilaksanakan pada huruf b yaitu : tempat pemakaman, tempat yang dianggap sici, tempat umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerimtahan Daerah Pasal 1 angka 12 : Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 43 : Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 1 ayat (1) : Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menteri dalam negeri kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Pasal 1 ayat (3) : Hukum Adat adalah seperangkat norma atau aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersumber pada nilai budaya bangsa Indonesia, yang diwariskan secara turun temurun, yang senantiasa ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat, dan mempunyai akibat hukum atau sanksi.

Di era zaman rezim Presiden Joko Widodo telah membuat intimidasi dan/atau kekerasan terhadap Masyarakat adat pada beberapa lokasi di Indonesia, seperti Masyarakat Adat Marafenfen Kepulauan Aru Menggugat TNI AL di Pengadilan Negeri Dobo, Maluku. Masyarakat Adat Marfenfen menggugat secara perdata (perbuatan melawan hukum) TNI AL atas objek wilayah adat seluas 689 hektar yang sejak tahun 1991 dikuasai TNI AL dengan izin dari Gubernur Maluku dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pihak TNI AL mengklaim secara sepihak telah berkoordinasi dengan tokoh masyarakat setempat dalam rangka untuk melaksanakan survei lokasi yang tepat untuk pembangunan pangkalan TNI AL. Pada faktanya proses tersebut justru disertai dengan intimidasi aparat bersenjata lengkap, tidak hanya kepada Masyarakat Adat Marafenfen, tetapi juga kepada Kepala Desa agar menandatangani izin. Berdasarkan fakta tersebut diatas, masyarakat kemudian melaporkan kasus ini kepada Komnas HAM yan g disambut langsung oleh Sekjen Baharuddin Lopa. Melalui surat, Komnas HAM kemudian meminta dilakukan penyelesaian kasus oleh Panglima ABRI yang tidak terjadi hingga sekarang. Jenuh dengan keadaan, Masyarakat adat Marafenfen kemudian menggugat secara perdata perbuatan melawan yang dilakukan oleh pihak TNI AL di Pengadilan Negeri Dobo dengan register perkara Nomor 7/Pdt.G/2021/PN.Dobo tanggal 31 Maret 2021. Adapun pihak tergugat antara lain Gubernur Maluku, TNI AL dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). 17 November 2021 Pengadilan Negeri Dobo, Kepulauan Aru (Maluku) menolak gugatan yang diajukan oleh MA Marafenfen. Majelis hakim mendasarkan putusan pada bukti formal dan tidak mempertimbangkan hukum yang hidup dan berkembang di Masyarakat Adat Marafenfen.

Kedua Konflik Masyarakat Adat di sekitar kawasan Danau Toba Propinsi Sumatera Utara dengan PT. TOBA PULP LESTARI (PT. TPL). PT. Toba Pulp Lestari (TPL), dahulu bernama PT. Inti Indorayon Utama (IIU), telah mendapatkan penolakan Masyarakat Adat sejak awal. Selama 30 tahun lebih beroperasi dengan konsesi seluas 167.192 Hektar dan tersebar di 12 Kabupaten PT. TPL telah merampas wilayah adat dan melahirkan penderitaan bagi Masyarakat Adat di Kawasan Danau Toba. Hak dan akses Masyarakat Adat atas wilayah adatnya menjadi hilang. Begitu pula dengan semakin terdegradasinya ekosistem Danau Toba. Setelah sempat dibekukan oleh Presiden Habibie, perusahaan ini kembali beroperasi dan mendapatkan protes keras dari sejumlah elemen masyarakat. Hingga hari ini tercatat telah 75 orang anggota masyarakat telah mengalami kekerasan dan kriminalisasi, termasuk meninggalnya 2 orang Masyarakat Adat pada tahun 1998 dan 2000 karena kekerasan oleh aparat.

Ketiga Kriminalisasi Masyarakat Adat Dayak Agabag, Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara. Perampasan Wilayah Adat Dayak Agabag yang dilakukan perusahaan sawit PT. Karangjoeang Hijau Lestari berdampak pada pelaporan 17 orang Masyarakat Adat Agabag yang berasal dari lima desa di Kecamatan Sebuku, yaitu Desa Bebanas, Desa Sojau, Tretaban, Melasu Baru, dan Lulu ke Kepolisian Resort Nunukan dengan tuduhan melakukan pencurian sawit perusahaan. Dari 17 orang tersebut, 4 orang melalui proses persidangan di PN Nunukan dan diputuskan dibebaskan dari segala dakwaan oleh Majelis Hakim. Atas putusan tersebut, Penuntut Umum melakukan kasasi, yang prosesnya masih berlangsung hingga saat ini. Selain kasus tersebut, perusahaan juga melaporkan 3 orang warga Desa Tetaban yaitu Matius, Sion, dan Suande ke Polres Nunukan pada bulan Maret 2021 dengan tuduhan mencuri buah kelapa sawit PT. KHL. Masyarakat Adat Agabag merasa tidak pernah menyerahkan wilayah adat mereka kepada, namun tiba-tiba seluruh wilayah Desa Tetaban Kecamatan Sebuku masuk dalam Wilayah HGU PT.KHL. Sebelum adanya perusahaan kelapa sawit PT. KHL, Masyarakat Adat di Desa Tetaban telah menguasai dan mengelola wilayah adat mereka dengan berkebun. Hingga saat ini tercatat 20 orang Masyarakat Adat Dayak Agabag di Kecamatan Sebuku telah dikriminalisasi oleh Kepolisian Resort Nunukan sejak Januari – Maret 2021. Kriminalisasi tersebut berdasarkan laporan pihak Perusahaan Kelapa Sawit PT. Karangjuang Hijau Lestari (PT.KHL).

Keempat Tambang Emas Ilegal di Lahan Masyarakat Adat Desa Toruakat. Pada Senin 27 September 2021, terjadi penyerangan, pemukulan dan penembakan terhadap Masyarakat Adat Toruakat Kecamatan Dumoga, Kabupaten Bolaang Mangondow Sulawesi Utara, yang berakibat 1 warga Toruakat tewas ditembak dan 4 orang lainnya mengalami luka-luka. Sebelum penyerangan terjadi, masyarakat melakukan pemasangan patok batas desa karena ada indikasi perusahaan tambang emas PT. Bulawan Daya Lestari (BDL) melakukan eksploitasi hingga ke wilayah Desa Toruakat. Dalam melakukan kegiatan pematokan batas desa tersebut, pihak Pemerintahan Desa Toruakan telah berkoordinasi dengan Kepolisian Resort Bolaang Mangondow agar kegiatan yang dilaksanakan mendapatkan pengamanan dari pihak kepolisian. Meskipun izin perusahaan tambang emas ini telah berakhir sejak tahun 2019, namun eksploitasi tetap berjalan, tanpa pengawasan dari pihak berwenang. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada tanggal 4 Oktober 2021 mengeluarkan surat yang menegaskan bahwa PT. BDL beroperasi secara illegal di kawasan Hutan Produksi Tetap dan belum memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Kelima Pemaksaan pembangunan Waduk Lambo di wilayah adat Rendu. Waduk Lambo akan menenggelamkan 3 (tiga) desa di 3 (tiga) kecamatan, Desa Labolewa di Kecamatan Aesesa, Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesesa Selatan dan Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pembangunan Waduk Lambo merupakan lanjutan dari rencana pembangunan Waduk Mbay yang pernah direncanakan oleh pemerintah melalui Pemerintah Daerah Ngada sejak tahun 1999. Masyarakat melakukan penolakan jika pembangunan dilakukan di Lowose, desa Rendu Butowe, karena dilokasi yang akan dijadikan bendungan tersebut, memiliki nilai sejarah yang tinggi, tempat dilaksanakan berbagai macam ritual, lahan pertanian yang subur, pemakaman yang akan ditenggelamkan hingga beberapa fasilitas pendidikan yang akan menjadi korban. Di tahun 2021 menjelang proyek pemerintah pusat ini terlaksana, intimidasi dan kekerasan meningkat. Rumah jaga dan atribut penolakan dirusak, serta tidak sedikit warga yang mengalami perlakukan kasar dan kekerasan oleh anggota Kepolisian yang melakukan pengawalan pembangunan waduk ini. Korban kekerasan dan kriminalisasi terus berjatuhan, termasuk terhadap perempuan dan lansia yang mempertahankan wilayah adat mereka.

Keenam Pemberian Hak Guna Usaha PT. SKE melukai Masyarakat Adat Sembalun. Bagi Masyratakat Adat Sembalun di Lombok Timur, Kawasan Gunung Rinjani merupakan giri suci yang tidak bisa dipisahkan dengan keberdaan Masyarakat Adat dan harus dijaga. Pemberian izin Hak Guna Usaha seluas 150 hektar kepada PT Sembalun Kesuma Emas, melukai harkat dan martabat Masyarakat Adat Sembalun. Bulan Desember 2021, masyarakat Adat Sembalun, melakukan aksi untuk menuntut pemerintah membatalkan izin HGU yang telah diberikan untuk PT. SKE. Dalam perjalanannya, Bupati Lombok Timur melakukan kriminalisasi masyarakat, dengan melaporkan pencematan nama baik yang dilakukan oleh salah seorang peserta aksi.

Ketujuh Tambang Pasir Besi di Seluma, Bengkulu. Pada tahun 2005, Bupati Seluma mengeluarkan ijin tambang pasir besi kepada PT. Famiaterdio Negara (FN) selama 10 tahun, yang secara jelas ditolak oleh Masyarakat Adat di 3 desa yaitu di Desa Penago Baru, Penago I dan Desa Rawa Indah. Sepanjang tahun 2005 hingga 2011 bentuk protes warga dilakukan dengan berkirim surat pada DPRD Seluma, Bupati, Gubernur Bengkulu, Komnas HAM, hingga Presiden RI, serta melakukan aksi menduduki kantor Bupati hingga menggalang dukungan ke berbagai pihak. Selang beberapa tahun kemudian masuk 2 perusahaan tambang pada tahun 2010 PT. Famiaterdio Negara (FN) dan tahun 2011 PT. Pringgodani yang juga berhenti beroperasi karena penolakan masyarakat. Aktivitas PT. FN sempat mengakibatkan kriminalisasi terhadap 6 warga Seluma. Persoalan kemudian tidak berhenti di situ, perusahaan tambang lain yang bernama PT. Faminglevto Bakti AbadI (FBA) masuk ke Desa Pasar Seluma. Pada November 2021 perusahaan ini memobilisasi sejumlah truk dan alat berat untuk menambang dan membangun camp untuk karyawan. Masuknya PT. FBA tidak pernah melalui proses dialog dengan Kepala Desa apalagi dengan masyaraka. PT. FBA baru melakukan sosialisasi pada Desember 2021 yang tidak representative karena tidak melibatkan perangkat desa dan sejumlah pemuka desa. Menurut Kepala Dinas Perizinan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Seluma, ijin PT. Faminglevto Bakti Abadi telah dicabut sejak 2016 dan bahkan dikategorikan dalam daftar hitam oleh kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 4 September 2016 berdasarkan pengumuman No. 1343.Pm/04/DJB/2016 tentang penetapan IUP Clear and Clean kesembilan belas dan daftar IUP yang dicabut Gubernur/ Bupati/ Walikota. PT. Faminglevto Bakti Abadi dapat menambang kembali bila berganti nama dan mengurus izin baru. Meski Pemda Seluma menegaskan izin PT. FBA telah kedaluwarsa namun prakteknya mereka terus membangun lokasi tambang serta mendatangkan alat berat, hal ini semakin membingungkan masyarakat terutama melihat sikap Pemda Seluma yang dianggap tidak tegas menindak aktivitas illegal PT. FBA.

Kedelapan Penolakan pemberian izin HGU kepada PT Sanjung Permai, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Masyarakat Adat di Desa Kendari, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan menghadapi aksi perampasan wilayah adat oleh PT. Sanjung Permai, perusahaan perkebunan sawit, dengan permohonan izin seluas 7.800 hektar. Menurut kabar yang beredar izin yang diperoleh mencapai 256,64 hektar. Hal ini sulit untuk diketahui kebenarannya karena tidak ada keterbukaan pemerintah atas izin tersebut. Masyarakat Adat di Desa Kendari kemudian melakukan penolakan atas perampasan wilayah adatnya, selain menyebabkan hilangnya hak atas wilayah adat, proses perijinannya pun tidak secara penuh melibatkan masyarakat. Sedari awal tidak ada pembicaraan mengenai lokasi perusahaan yang akan beroperasi di wilayah adat. Jikapun ada pembicaraan, itu hanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah dan perusaaan. Survey dan pendataan lokasi juga dilakukan secara sembunyi dan tertutup.

Kesembilan Kriminalisasi Kades Kinipan. Willem Hengki, Kepala Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah ditetapan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait dana pembangunan jalan yang menggunakan dana desa. Dana ini dikeluarkan untuk membayar hutang desa kepada kontraktor untuk pembangunan fasilitas penunjang jalan desa yang dibangun tahun 2017, namun pembangunan jalan tersebut belum dibayarkan. Sebelum dana tersebut dicairkan, Willem bersama perangkat desa dan tokoh masyarakat Desa Kinipan bersepakat, agar hutang tersebut dibayarkan, agar tidak menjadi beban dikemudian hari. Proses hukum bagi Kepala Desa Kinipan tentu merupakan pukulan bagi Masyarakat Adat mengingat Willem Hengki adalah salah satu tokoh pejuang hak Masyarakat Adat Kinipan. [erlu diketahuin bahwa saat ini Masyarakat Adat Kinipan sedang mempertahankan wilayah adatnya yang dirampas oleh PT. Sawit Mandiri Lestari (SML). Pengaduan sudah sampai di meja Presiden lewat KSP, Komnas HAM dan KLHK namun hingga kini tidak ada jalan keluar yang pasti. Produk hukum daerah (Perda dan SK Bupati) bagi pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat Kinipan juga tak kunjung diinisiasi dan disahkan.

Kesepuluh Konflik Masyarakat Adat Dayak Bekati Riuk. Dusun Sebalos, Desa Sango Kecamatan Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Masyarakat Adat Dayak Bekati Riuk, bermukim di Dusun Sebalos, Desa Sango Kecamatan Sanggau Ledo Kabupaten Bengkayang Propinsi Kalimantan Barat mengalami perampasan wilayah adat yang disertai dengan pemiskinan, pecah belah, intimidasi, kriminalisasi yang dilakukan oleh perkebunan sawit bernama PT. Ceria Prima, sebuah perusahaan perkebunan sawit yang berafiliasi dengan PT. Duta Palma Nusantara atau nama lain sebagai Darmex Agro. Izin PT. Ceria Prima seluas 9.199 hektar (APL) dan sisanya 8.551 hektar pada Hutan Produksi dapat diKonversi (HPK). Perkiraan luas wilayah adat yang dirampas adalah 117 hektar. Perusahaan berusaha merayu para tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat sebalos dengan diiming-imingi fasilitas, pekerjaan, jaminan hidup, namun ditolak oleh masyarakat. Masyarakat dusun Sebalos pada tahun 1995 pernah menghukum adat tim survey perusahaan karena telah melakukan Survey hingga memasuki wilayah adat Sebalos. Hukum adat yang ditimpakan adalah Hukum adat Nd’o Na’I, yaitu adat merusak padi. Hukum adatnya berupa: Babi 1 ekor 25 kg, anjing 1 ekor, ayam 2 ekor, telur 2 butir, beras kuning beras putih, biaya pemagon. Pemerintah juga pernah menghentikan operasional perusahaan ini selama 1,5 tahun karena tidak membayar biaya Izin Pemanfaatan Kayu serta membuat laporan yang tidak transparan kepada pemerintah. Masalah perampasan wilayah adat ini sudah beberapa kali dilaporkan ke berbagai pihak termasuk DPRD Kabupaten Bengkayang dan Pemerintah Kabupaten Bengkayang. Pada tanggal 9 september 2020, sekitar pukul 09.00 wib, masyarakat adat Dusun Sebalos, Desa Sango, Kecamatan Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang melakukan aksi damai di depan kantor PT. Ceria Prima yang terletak di Dusun Pelangor, Desa Kalon, Kec. Seluas, Kab Bengkayang. Aksi ini dilakukan karena beberapa hari sebelumnya masyarakat mendapat informasi dari warga sekitar bahwa PT. Ceria Prima telah melakukan pemanenan buah sawit di lahan adat milik warga sebalos yang masih bersengketa. Menurut masyarakat sebalos, aktivitas PT. Ceria Prima telah melanggar kesepakatan terdahulu bahwa PT. Ceria Prima tidak lagi beroperasi di Wilayah Adat Sebalos. Aksi ini berujung kericuhan, dikarenakan tidak adanya perwakilan perusahaan yang menemui warga. Selang berapa bulan dari peristiwa tersebut, banyak warga mengalami intimidasi. Kepolisian Resort Bengkayang menetapkan 2 orang warga bernama Tapos dan Tulong sebagai tersangka perusakan. Hingga saat ini penyelesaian kasus masih menemui jalan buntu. Aksi ini dilakukan karena beberapa hari sebelumnya masyarakat mendapat informasi dari warga sekitar bahwa PT. Ceria Prima telah melakukan pemanenan buah sawit di lahan adat milik warga sebalos yang masih bersengketa. Menurut masyarakat sebalos, aktivitas PT. Ceria Prima telah melanggar kesepakatan terdahulu bahwa PT. Ceria Prima tidak lagi beroperasi di Wilayah Adat Sebalos. Aksi ini berujung kericuhan, dikarenakan tidak adanya perwakilan perusahaan yang menumui warga. Selang berapa bulan dari peristiwa tersebut, banyak warga mengalami intimidasi. Kepolisian Resort Bengkayang menetapkan 2 orang warga bernama Tapos dan Tulong sebagai tersangka perusakan.

Kemudian yang terbaru sekarang ini Konflik Masyarakat Adat Rempang dengan Aparat disebabkan kepentingan negara. Menteri Investasi Bahlil Lahadiala mengatakan bahwa masyarakat terdampak proyek investasi tahap pertama “bukan direlokasi” ke Pulau Galang, melainkan “akan digeser” ke area yang masih ada di dalam Pulau Rempang. Bahlil juga menyebut bahwa rencana itu telah “diteken” oleh tokoh masyarakat yang ditemuinya ketika berkunjung ke Pulau Rempang awal pekan lalu.Tetapi bagi Fauziah, warga dari Kampung Sembulang Pasir Merah, penolakannya terhadap relokasi atau apa yang kini diistilahkan pemerintah sebagai “pergeseran”, tidak berubah.
Permahi menilai perbuatan rezim Jokowi tidak patut atau tidak layak memperlakukan kepada Masyarakat adat dengan cara demikian, sehingga perbuatan tersebut tidak selaras dengan aturan yang berlaku serta telah melanggar ketentuan HAM yang berlaku. Mengenai permasalahan yang telah terjadi pada Masyarakat adat oleh pihak pemerintah telah menunjukkan adanya paksaan dengan cara kekerasan yang dilakukan kepada Masyarakat adat demi menjalankan kepentingannya dibandingkan harapan Masyarakat adat selaku rakyat era pemerintahan rezim Jokowi.

Sebagaimana ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan”. Jo. Pasal 1 ayat 2 Peraturan Presiden Nomor 53Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional HAM Tahun 2021-2025 “Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disingkat RANHAM adalah dokumen yang memuat sasaran strategis yang digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupatenlkota dalam rangka melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM di Indonesia,” ujar Fahmi

Selain hal demikian , Tindakan perbuatan oknum aparat dengan adanya sikap kekerasan, kriminalisasi, maupun penyiksaan, melanggar ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang HAM “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Jo. Pasal 6 “(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman,” tegas Fahmi

Selain itu, Khefin Prattamera Subagja, S.H., selaku Ketua Pendidikan dan Pelatihan DPN Permahi menegaskan kepada era rezim presiden Ir. Jokowi Dodo untuk memperlakukan baik dan benar sesuai ketentuan hukum yang berlaku kepada siapapun Masyarakat Indonesia dengan tidak adanya diskriminasi dalam memperlakukan terhadap Masyarakat.

Hal tersebut sesuai dengan Pasal 69 “(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, bebangsa, dan bernegara. (2) Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya”. Jo. Pasal 67 “Setiap orang yang ada diwilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia”.

Apa reaksi anda soal berita ini?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
Iklan-Admin

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *