KABAR DPR – Tampaknya banyak orang yang sudah akrab dengan kampanye ramah lingkungan dan energi baru terbarukan. Greenpeace adalah salah satu organisasi internasional yang selalu memberi perhatian khusus pada permasalahan seperti ini.
Greenpeace mengatakan pernyataan Jokowi tentang laju deforestasi yang turun signifikan dalam 20 tahun terakhir keliru. Greenpeace menilai deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019).
Selain itu, Greenpeace juga menyebut klaim Jokowi mengenai keberhasilan pemerintahannya dalam menurunkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebesar 82 persen pada tahun 2020 bukan terjadi karena upaya pemerintah, melainkan disebabkan gangguan fenomena alam La Nina.
Tidak hanya di Indonesia, kecaman terhadap Greenpeace juga terjadi di negara lain, contohnya Kanada. Dikutip dari artikel Canada Leaves Greenpeace Red-Faced di situs Institute of Economic Affaris, Canada Revenue Agency (CRA), lembaga pemungut pajak pemerintah Kanada, menolak untuk mengakui Greenpeace sebagai badan amal.
Alasannya karena kegiatan Greenpeace dinilai “kurang bermanfaat bagi publik” dan kampanyenya untuk menghambat sejumlah aktivitas industri dapat membuat sebagian kalangan masyarakat kehilangan lapangan kerja.
Karena ini, Greenpeace Kanada tidak bisa mendapatkan sumbangan. Begitu juga di India, pada tahun 2015, Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) India melarang kegiatan Greenpeace. Pihak Kemdagri mengklaim bahwa kampanye LSM tersebut telah “merugikan kepentingan ekonomi negara”.
Dengan bentuk kritik tersebut Sekretaris Jendral Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Fajar Budiman menilai “bahwa sebagian besar masalah lingkungan yang sangat serius justru telah ditangani oleh pemerintah dan Greenpeace sekarang berusaha untuk menciptakan skenario malapetaka yang baru.
“Kami menilai strategi Greenpeace seringkali berusaha meromantisasi kehidupan petani sebagai bagian dari kampanye anti-industri untuk mencegah adanya pembangunan di negara-negara berkembang,” tegas Fajar
Kelompok lingkungan seperti Greenpeace memiliki vested interest atau kepentingan pribadi dalam membesar-besarkan masalah, karena membuat orang takut adalah cara yang sangat tepat untuk mengumpulkan dana.
Dalam menyoroti sejumlah isu yang dianggapnya menyesatkan, tentang deforestasi misalnya. grenpeace berargumen sejak awal pertanian diciptakan manusia, dunia telah kehilangan sekitar 20 persen hutannya, tetapi dalam beberapa dekade terakhir deforestasi justru semakin menurun. Menurut data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), luas hutan di dunia hampir stagnan, sekitar 30 persen dari total luas daratan, sejak Perang Dunia Kedua.
Hutan beriklim sedang di berbagai negara seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Kanada justru sebenarnya telah berkembang tumbuh dalam 40 tahun terakhir. Ungkap Fajar
Serta kami menekankan, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kampanye Greenpeace telah menggiring opini publik ke arah yang salah. Selain dapat merugikan perekonomian negara, program-program ‘ramah lingkungan’ juga bisa merampas mata pencaharian sejumlah golongan Masyarakat tambah fajar.
Lebih lanjut fajar juga mengatakan bahwa perbuatan Greenpeace dapat dikecam dengan aturan yang berlaku sebab hal ini merupakan bentuk kebohongan publik, sebagaimana diatur dalam Pasal pasal 14 dan pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Dalam pasal 14 ini, terdapat dua ayat yang berbeda. Pertama, pasal 14 ayat (1). Dengan sanksi hukuman 10 tahun, kualifikasi konten kebohongan yang dapat dijerat oleh pasal 14 ayat (1) ini adalah konten yang menyiarkan berita bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat. Kedua, pasal 14 ayat (2).
Dalam pasal ini, kualifikasi konten kebohongan publik yang dapat dijerat adalah kebohongan dengan cara menyiarkan berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyengka bahwa berita itu terbohong. Hukuman untuk seseorang yang terjerat pasal ini adalah 3 tahun. Secara parsial, kualifikasi hukuman ini cocok dengan apa yang dilakukan Greenpeace.
“Serta diperkuat dalam Pasal 15 yang menyatakan Kebohongan publik juga dibahas dalam pasal 15. Dalam pasal ini, kualifikasi konten kebohongan publik yang dapat dijerat adalah dengan cara menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau tidak lengkap, sedangkan ia mengerti dan mampu menduga bahwa kabar itu akan menerbitkan keonaran,” pungkasnya.