Ini Alasan Kenaikan Tarif KRL Wajib Ditolak

Ini Alasan Kenaikan Tarif KRL Wajib Ditolak

KABARDPR.COM – Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS, Suryadi Jaya Purnama merespon Pemerintah yang berencana menaikkan tarif commuter line kereta rangkaian listrik (KRL) Jabodetabek tahun depan.

Tarif KRL diperkirakan naik menjadi Rp 5.000 untuk 25 km pertama dan untuk tarif lanjutan KRL 10 km berikutnya tetap di angka Rp 1.000. Wacana ini dilontarkan dengan beberapa alasan.

Bacaan Lainnya

Pertama, tarif KRL belum pernah naik sejak tahun 2015. Kedua, peningkatan tarif operasional selalu dan pasti terjadi setiap tahunnya, sehingga subsidi PSO (Public Service Obligation atau Kewajiban Pelayanan Publik) terus bertambah.

Pemerintah menganggap dari pada untuk subsidi PSO, akan lebih produktif jika disalurkan untuk pembangunan prasarana dan peningkatan pelayanan perkeretaapian di seluruh Indonesia.

Ketiga, kenaikan tarif ini sudah sesuai dengan survey yang dilakukan pada masyarakat pada bulan Januari 2022 yang lalu.

“FPKS dengan tegas menolak kenaikan tarif KRL pada tahun 2023. Alasan-alasan di atas dianggap belum cukup kuat untuk menaikkan tarif dan akan memberatkan masyarakat,” tegas SJP.

Alasan pertama, imbuhnya, bahwa tarif KRL belum pernah naik sejak tahun 2015 sangat lemah dasar hukumnya karena UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian sama sekali tidak menyebutkan periode evaluasi dan penyesuaian tarif.

“Hal ini berbeda dengan tarif jalan tol yang evaluasi dan penyesuaiannya dilakukan setiap dua tahun sekali yang memang disebutkan dalam UU No. 2 Tahun 2022 tentang Jalan. Yang ada adalah bahwa besaran tarif harus diumumkan kepada masyarakat paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum diberlakukan seperti disebutkan dalam Permenhub No. PM 17 Tahun 2018. Tidak ada ketentuan yang mewajibkan setiap periode tertentu harus ada kenaikan tarif KRL,” terang Anggota DPR RI dari Dapil NTB 1 ini.

Alasan tarif KRL belum pernah naik sejak tahun 2015 sehingga pantas jika naik, kata SJP, adalah juga absurd mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 2015 tidak pernah lebih dari 6 persen.

“Pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan tahun 2020 mencapai minus 2,07 persen, lalu tahun 2021 baru beranjak naik ke 3,69 persen sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Apalagi Presiden Jokowi sendiri mengatakan bahwa pada tahun 2023 mendatang akan terjadi krisis sehingga menjadi tahun yang suram,” pungkasnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 masih sangat tinggi, yaitu mencapai 26,16 juta orang atau 9,54 persen dari total penduduk Indonesia.

“Selain itu inflasi yang terjadi secara global turut mengerek naiknya harga bahan-bahan pokok kebutuhan masyarakat,” tutur SJP.

Alasan kedua, kata Suryadi, bahwa anggapan Pemerintah daripada untuk subsidi PSO, akan lebih produktif jika disalurkan untuk pembangunan prasarana dan peningkatan pelayanan perkeretaapian juga tak memiliki dasar hukum. PSO sebagai tanggung jawab Pemerintah jelas-jelas tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 153 ayat (1).

“Selain itu, sudah ada Perpres No. 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek Tahun 2018-2029 dan Keputusan Menteri No. KM 296 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Perkeretaapian Nasional yang tidak menyebutkan perlunya kenaikan tarif untuk lebih produktif disalurkan bagi pembangunan prasarana dan peningkatan pelayanan perkeretaapian,” ungkapnya.

Direktorat Jendral Perkeretaapian Kemenhub juga, lanjut SJP, sudah mendapatkan pagu anggaran yang cukup besar yaitu Rp 6,49 triliun pada tahun 2022 dan meningkat menjadi Rp7,27 triliun pada tahun 2023. Itupun track record realisasinya juga kurang bagus karena pada tahun 2021, realisasinya hanya 96,53 persen.

“Alasan ketiga bahwa kenaikan tarif ini sudah sesuai dengan survei yang dilakukan pada masyarakat pada bulan Januari 2022 yang lalu juga sudah kurang relevan.

Saat ini, secara teknis KRL Commuter Line masih mengalami overload di jam-jam sibuk, sehingga pengguna KRL belum bisa merasakan kenyamanan sepenuhnya,” terangnya.

Apalagi, kata SJP, dengan adanya sistem transit di Stasiun Manggarai sejak bulan Mei 2022, dianggap membuang waktu dan menyulitkan penumpang lansia.

“Ketidakadilan masih dirasakan oleh para penumpang KRL jurusan Bogor – Tanah Abang/Duri dengan adanya transit semacam ini. Begitu juga penumpang jurusan Kampung Bandan via Pasar Senen, masih harus menunggu waktu yang lama pada saat jam-jam sibuk. Belum lagi masih banyaknya kasus pelecehan seksual yang terjadi di KRL Commuter Line. Dipastikan kenyamanan penumpang saat ini berbeda dengan saat survei pada bulan Januari 2022 lalu,” ujarnya.

Dengan berbagai fakta, kata SJP, FPKS dengan tegas menolak rencana kenaikan tarif dasar KRL menjadi Rp5.000 karena alasan-alasan yang dikemukakan Pemerintah belum kuat dan akan memberatkan masyarakat pada tahun 2023.

“Bahkan FPKS meminta Pemerintah menetapkan tidak adanya kenaikan tarif KRL sampai tahun tertentu, seperti halnya iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan tidak naik sampai tahun 2024 oleh Presiden Jokowi,” tutup Wakil Sekretaris Fraksi PKS DPR RI ini.

Baca Artikel Lainnya di Google Berita

Apa reaksi anda soal berita ini?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Pos terkait