KABAR DPR – Memahami politik identitas tidak afdol apabila tidak menilik lebih jauh dari awal terciptanya dulu. Pancasila, lahir dari buah pemikiran bersama anak-anak bangsa yang diwakili oleh para politisi, intelektual, kaum agamawan secara bersama-sama dalam masa lalu.
Staf Ahli Ideologi dan Konstitusi Kemenkopolhukam Irjen Andry Wibowo pada Juni 2018 lalu sempat membahas terkait Politik identitas melalui sebuah tulisan opini yang dimuat media nasional. Kondisi yang digambarkan, ternyata masih relevan untuk menjadi pembicaraan politik masa kini, apalagi jelang Pemilu 2024 mendatang.
Andry menjelaskan jika Pancasila menjadi perekat kesatuan nasional, pijakan, serta tujuan utama dari NKRI. Begitu juga pada akhirnya pemikiran akan Pancasila ini turut berimplikasi pada politik itu sendiri.
Menurutnya, politik identitas dilebur menjadi politik kebangsaan yang tidak lagi mengedepankan egoisme sektoral, egoisme kelompok, egoisme partikularistik. Pada dasarnya, politik kebangsaan yang Pancasilais adalah Politik holopis kuntul baris “Politik Satu Untuk Semua, Semua Untuk Satu.”
“Politik Kebangsaan Pancasila disepakati untuk memastikan bahwa Indonesia adalah milik bersama, menghapus prinsip dominasi atas apapun, Kesetaraan dalam kemanusiaan, keamanan dan kesejahteraan umum bagi semua orang, kedamaian atas prinsip tepo seliro yang dipayungi oleh kesadaran diri bahwa Tuhan di atas segala-galanya,” kata Andry Wibowo.
Dengan semakin berkembangnya waktu, politik kebangsaan Pancasila yang seharusnya multikultur seolah menjadi anti tehsis dari politik identitas yang partikularistik.
Sama seperti politik devide et impera, gaya berpolitik pecah belah yang dimanfaatkan oleh kolonial Belanda pada sejarah perjuangan kemerdekaan Indoensia. Kala itu, pola politik identitas juga dimanfaatkan sebagai salah satu cara efektif untuk melemahkan kekuatan nasional Indonesia.
Cara tersebut, menurut Andry yang juga merupakan jenderal bintang dua ini, juga nyatanya efektif di berbagai konflik negara lain. Misalnya, i Skotlandia antara Katolik melawan Protestan sebagai bagian dari konflik di wilayah Great Britania.
Perang saudara di Amerika Serikat ketika terjadi pada era civil war, konflik pribumi dan non-pribumi di Semenanjung Malaya, pecahnya Yugoslavia, Suriah, Afghanistan, maupun politik anti Semit serta merebaknya terorisme, radikalisme di berbagai belahan dunia.
“Politik identitas dilebur menjadi politik kebangsaan yang tidak lagi mengedepankan egoisme sektoral, egoisme kelompok, egoisme partikularistik,” ucap dia.
Belajar dari Masa Lalu
Potret sejarah konflik tersebut pun harus menjadi pembelajaran bagi Indonesia. Harus diakui jika kesatuan nasional dapat terpecah belah ketika politik identitas itu tak tertangani secara efektif.
Menurut Andry, reformasi seharusnya membawa perubahan baik pada kualitas berdemokrasi Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Namun rakyat bisa belajar dari pertarungan politik pada Pilkad DKI Jakart 2017 lalu yang membekaskan beberapa masalah mendasar melalui politik identitas.
Tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada tahun 2019, Indonesia menghadapi Pemilu yang untuk pertama kalinya dalam sejarah akan memilih wakil rakyat di DPR RI, DPRD, DPD dan Presiden secara bersamaan.
“Isu-isu partikularistik tentang pribumi dan non pribumi, Islam dan non Islam, China vs anti China, syariat Islam vs Pancasila merebak dan menjadi lumrah dibahas, digagas, dihembuskan dalam konstestasi kekuasaan di daerah maupun nasional dengan dalih demokrasi,” kata dia menjelaskan.
Belajar dari banyak masalah tersebut, Andry beranggapan jika masalah demokrasi ini harus segera dibenahi. Apalagi, nanti 2024 Indonesia akan kembali menggelar pesta demokrasi besar-besaran.
Laga politik yang disuguhkan, tidak boleh lagi berkutat pada isu politik identitas. Dia pun mengingatkan, banyak sekali isu kesejahteraan sosial yang belum tuntas, isu penyakit sosial yang ada di masyarakat, isu patologi birokrasi yang masih dirasakan masyarakat. “Semestinya lebih patut untuk diperdebatkan sebagai bentuk kritik atas realitas politik kekinian,” cetusnya.
Harapan Besar Politik 2024
Politik identitas yang dipakai oleh individu dan kelompok bahkan organisasi seolah- olah untuk kebaikan masa depan Indonesia dengan tawaran sistem politik alternatif dan model kepemimpinan alternatif.
“Politik identitas secara luas tanpa batas merupakan “abuse of Indonesia democracy” dan rawan melahirkan berbagai problem keamanan bahkan dapat mengancam keutuhan nasional Indonesia,” tambahnya.
Satu ciri yang menurut Andry sangat berbahaya dari politik identitas ini ialah hidupnya kembali in group dan out group di kalangan masyarakat. Akhirnya, melahirkan sekat sosial atas dasar SARA.
Sejatinya seluruh batasan tersebut telah dihapus sejak Pancasila disepakati sebagai pihakan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Dia pun berharap 2024 Indonesia akan memasuki babak baru sejarahnya. Menatap masa keunggulan (competitivenes era) dengan cara yang benar sebagai kelanjutan era reformasi.
Tentunya, kata dia, semua itu demi melanjutkan cita-cita para pendiri bangsa.
“Evaluasi terhadap sistem demokrasi liberal (era reformasi) memerlukan koreksi pada sisi norma dan praktek. Sistem demokrasi Indonesia harus berdasarkan Pancasila. Di mana ruang politik identitas dibatasi dalam ideologi kesatuan nasional, sehingga stabilitas negara dapat dipastikan berjalan sesuai dengan spirit Pancasila,” tandas dia.